Kitab-kitab Kuno - Kitab Kuno merupakan Sumber Sejarah yang sangat
penting dalam merekontruksi/menulis peristiwa sejarah, beberapa kitab kuno yang
terkenal antara lain :
1. Mahabharata
Mahabharata
adalah epik India yang menceritakan
pertikaian antara keturunan Raja Bharata dari Hastinapura, yakni Pandawa
sebagai pihak kebaikan melawan pihak Kurawa sebagai pihak kebatilan. Pandawa
(lima bersaudara) dan Kurawa (seratus bersaudara: 99 laki-laki, 1 wanita)
adalah saudara sepupu dari garis ayah. Peperangan antara mereka dikenal dengan Bharatayudha (Peperangan antara
keturunan Bharata), yang berlangsung di lapang Kurusetra dan dimenangkan pihak
Pandawa. Meski menang, banyak saudara dan raja pembantu dari Pandawa yang gugur
dalam perang.
Kitab Mahabharata dianggap sebagai kitab suci Weda ke-5 setelah Rigweda, Yajurweda, Samaweda, dan Atharwaweda. Mahabharata asli terdiri
atas 100.000 seloka yang terbagi dalam 18 parwa (jilid atau buku). Selain 18 parwa, adapula tambahan yang
berjudul Hariwangsa yaitu
cerita asal-usul Kresna (Krishna), sepupu Pandawa yang menjadi penasehat
Pandawa dalam perang Bharatayudha. Kresna pula yang menyemangati Arjuna yang
patah semangat untuk berperang melawan Kurawa karena ia harus berhadapan dan
membunuh guru, leluhur, dan sanak-saudaranya sendiri. Nasihat Kresna kepada
Arjuna ini termuat dalam episode Bhagawad
Gita.
Di dalam Mahabharata ini banyak terdapat nama kerajaan yang memang ada di
India secara historis, di antaranya Magadha dan Kalingga. Sebagai karya sastra
tentunya karya ini berkaitan dengan kenyataan sehari-hari rakyat India ketika
itu. Di dalam kitab tersebut tersimpan ajaran moral, etika politik, persaingan
antarkeluarga dalam memperebutkan takhta, akibat keserakahan dan peperangan,
hingga kisah asmara. Ditekankan pula bahwa seseorang harus berbakti kepada
orangtua dan Negara meski untuk itu ia harus mengorbankan kepentingan
pribadinya (seperti kisah Bisma). Dan yang pasti bahwa kasta ksatria adalah
mereka yang dipilih dewa untuk menegakkan keadilan dan kemanusiaan di muka
bumi.
2. Ramayana
Selain Mahabharata, adapula kitab lain yang dianggap suci oleh umat
Hindu, yaitu Ramayana (Pengembaraan
Rama), ditulis oleh Valmiki sekitar tahun 400 SM. Mungkin saja, Valmiki hanya
menulis cerita intinya yang kemudian dikembangkan oleh para penulis lain hingga
mencapai 24.000 bait puisi. Maka dari itu, tak heran bila ada tiga versi cerita
Ramayana ini yang saling
berbeda. Konon kisah Ramayana berlangsung
dari tahun 500 SM hingga tahun 200 M.
Oleh orang Jawa, Ramayana digubah menjadi Kakawin Ramayana. Isi kakawin ini
lebih pendek dari karya Valmiki. Nama tokoh-tokoh dan tempatnya ada yang
berbeda, seperti Walin diganti menjadi Subali, Sita menjadi Sinta, Lanka
menjadi Alengka, Rawana menjadi Rahwana atau Dasamuka (Kepala Sepuluh).
Yang pertama menggubah Ramayana menjadi
kakawin adalah para pujangga Mataram, yaitu pada masa Dyah Balitung abad ke-9
dan 10 M. Ada ahli yang berpendapat bahwa kakawin ini digubah pertama kali pada
abad ke-11 hingga 13 M, pada masa Kediri.
Menurut tradisi lisan, kakawin ini
ditulis oleh seorang pujangga istana bernama Yogiswara. Selanjutnya pada masa
Kediri dituliskan kitab-kitab lainnya, di antaranya Hariwangsa dan Gatotkaca
Sraya karya Mpu Panuluh, Smaradhana
karya Mpu Dharmaja, Lubdaka dan
Wrtasancaya karya Mpu Tanakung,
dan Kresnayana karya Mpu
Triguna. Pada masa Majapahit ditulis sejumlah kitab, yaitu Negarakretagama karya Mpu Prapanca, Sutasoma karya Mpu Tantular, kitab Pararaton yang menceritakan riwayat
raja-raja Singasari dan Majapahit, Kidung
Sunda yang menceritakan Peristiwa Bubat, Ranggalawe yang menceritakan pemberontakan Ranggalawe, Sorandaka menceritakan pemberontakan
Sora, serta kitab Usana Jawa yang
menceritakan penaklukan Bali oleh Gajah Mada dan Arya Damar dari
Majapahit.
3. Pararaton
Pararaton
ditafsir selesai ditulis pada tahun
1287 Saka (1365 M). Pararaton menceritakan
keadaan Jawa pada zaman Hindu hingga datangnya Islam. Disebutkan bahwa ada masa
yang disebut zaman kaluthuk, yaitu masa jauh sebelum kedatangan orang India ke
Nusantara (zaman prasejarah). Lalu, datanglah orang-orang dari negeri Kalingga,
Celong (Sailan atau Sri Lanka), dan pesisir pantai Semenanjung Malaka dan
Kamboja. Dituliskan pula bahwa pada zaman kuno telah terdapat bandar-bandar
ramai, di antaranya Tunsun yang kemudian pindah ke Kalah (Kerah) di Malaka.
Kedatangan orang-orang ke Jawa banyak dicatat dalam kronik- kronik Cina, yang
ternyata banyak kesamaannya dengan isi Pararaton.
Orang Hindu (India) datang ke Indonesia mengikuti arah angin yang ke tenggara.
Dijelaskan pula rute-rute pelayaran dagang pada masa itu, dimulai dari Ambon,
Banda, Kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara), pantai utara Jawa, lalu menyusuri
Sumatera sebelah timur hingga di
pesisir Semenanjung Malaya. Dari Malaka ini rute dilanjutkan dan bertemu
dengan jalur pelayaran dari Cina, yaitu Kanton (Katogara), Pulau Kondor,
Lahore, Sanggora (Pattani). Bangsa India maupun Cina bila hendak pergi ke
Molokus (Maluku atau Moluska) dari Bandar Kalah yang jaraknya cukup jauh, harus
beristirahat dulu di Sumatera atau Jawa. Kedatangan orang Hindu ke Indonesia,
begitu Pararaton menyebutkan, pertama kali sekitar abad ke-7 M. Selain masalah
ekonomi, Pararaton menguraikan
masalah keagamaan Hindu Siwa, Waisnawa, dan Brahma; serta menjelaskan bahwa
Hindu pun berkembang di Madura, Bali, Sumatera, Kalimantan, Maluku, Sumbawa,
selain di Tanah Jawa. Pararaton menerangkan
jatuh-bangun kerajaan-kerajaan di Jawa, dari mulai Raja Sanjaya Mataram,
kehidupan Ken Arok dalam mencapai takhta Singasari, usaha Raden Wijaya menipu
tentara Kubilai Khan yang hendak menyerang Tumapel, raja-raja Majapahit,
peperangan antara Majapahit melawan Blambangan, hingga kedatangan orang-orang
Islam di Jawa yang mulai merongrong kewibawaan Majapahit.
4. Negarakretagama
Negarakretagama
ditulis Mpu Prapanca pada 1365 M.
Oleh Prapanca kitab berbentuk kakawin ini disebut Desawarnana (Cacah
Desa-Desa). Naskah Negarakretagama
ditemukan di Lombok pada tahun 1894, yang oleh Brandes diterbitkan
tahun 1902. Naskah ini cukup istimewa dibanding naskah-naskah Jawa Kuno lainnya
yang selalu memakai bahasa yang indah. Negarakretagama
banyak mengandung data sejarah secara eksplisit terutama tentang
Majapahit. Kakawin Negarakretagama terdiri
atas 98 pupuh (sejenis sajak
yang dilagukan). Kebanyakan menceritakan keagungan Raja Hayam Wuruk sebagai
penjelmaan Siwa dan Buddha. Juga terdapat keterangan mengenai kota, istana,
keluarga istana Majapahit; perjalanan Hayam Wuruk ke Lumajang; kegiatan Raja
berburu binatang di hutan, kehidupan Gajah Mada, silsilah rajaraja Singasari
dan Majapahit, dan juga riwayat sang penulis kitab, Prapanca.
Prapanca mengakui bahwa ia pun
menulis kitab-kitab lain seperti Parwasagara,
Bhismasaranantya, Sugataparwa, dan dua karyanya yang belum selesai, Saba Abda dan Lambang. Namun, tak satu pun karya-karya tersebut berhasil
diketemukan. Menurut Slamet Mulyana, sejarawan Indonesia yang juga
mengalihbahasakan Pararaton yang
berbahasa Kawi ke bahasa Indonesia, Prapanca sebenarnya nama samaran dari
seorang dharmadyaksa ring kasogatan (rahib
Buddha penasihat raja) di Majapahit yang bernama asli Dang Acarya Nalendra.
5. Arjuna
Wiwaha
Kakawin lainnya adalah Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa yang
ditulis dalam bahasa Kawi pada zaman Airlangga Raja Medang Kamulan. Kakawin ini
ditulis sekitar tahun 941-964 Saka atau 1019-1042 Masehi. Dalam Arjuna Wiwaha ini, sosok Arjuna diibaratkan
sebagai Airlangga. Karena populernya, cerita ini berkali-kali ditulis ulang
dengan berbagai judul berbeda, misalnya Mintaraga
atau Bagawan Ciptaning.
Arjuna
Wiwaha (Perkawinan Arjuna) mengisahkan perjalanan Arjuna bersama Pandawa
lainnya yang tengah menjalani hukuman pengasingan selama 12 tahun karena kalah
bermain judi dadu dengan Kurawa. Di tengah perjalanan, Arjuna pergi sendirian
untuk menjalani tapa-brata. Ketika bertapa, Arjuna didatangi oleh Dewa Indra,
atas saran Dewa Siwa dari kahyangan, yang bertujuan meminta bantuan Arjuna
untuk mengalahkan raja raksasa Niwatakawaca dari Kerajaan Manimantaka.
Niwatakawaca sebelumnya berhasil menyerang kahyangan (swarga; tempat tinggal para dewa) karena ia menginginkan Dewi
Supraba, seorang bidadari yang cantik, untuk diperistri.
Sebelum didatangi oleh Dewa Indra,
mulanya Arjuna didatangi oleh tujuh bidadari kahyangan (di antaranya Dewi
Supraba sendiri dan Nilotama) untuk menggoda tapanya. Karena tak berhasil
dirayu para bidadari, akhirnya Dewa Indralah yang turun tangan. Singkat cerita,
Arjuna yang telah dibekali panah Pasopati oleh Dewa Siwa mampu mengalahkan Raja
Niwatakawaca. Setelah berhasil, Arjuna dinikahkan dengan Dewi Supraba dan enam
bidadari lainnya. Oleh Dewa Indra, Arjuna diperbolehkan berbulan madu selama
tujuh hari di kahyangan.
6. Kidung
Sunda
Sementara itu, Kidung Sunda adalah karya sastra
buatan Jawa Tengah berbentuk puisi (kidung). Isinya menceritakan lamaran Hayam
Wuruk kepada puteri Raja Sunda-Pajajaran (Sri Baduga Maharaja),
bernama Dyah Pitaloka. Hayam Wuruk mengirim utusan bernama Madhu yang
berlayar selama 6 hari. Surat lamaran itu diterima oleh Raja Sunda dengan
senang hati, meski sang puteri menerimanya biasa-biasa saja. Kemudian Raja
Sunda beserta puteri dan keluarga berangkat menuju Majapahit bersama rombongan,
dipimpin oleh Patih Anepaken. Sampai di Desa Bubat, mereka beristirahat; akuwu
Bubat melaporkan kedatangan tamu itu ke istana. Namun, Gajah Mada tak senang
bila rajanya menyambut rombongan Sunda, ia ingin agar Raja Sundalah yang
menghampiri Hayam Wuruk. Mendengar keputusan Gajah Mada tersebut, Patih
Anekapen marah karena Kerajaan Sunda dilecehkan Majapahit.
Terjadilah peperangan di Desa Bubat
pada tahun 1357 M. Bersama 300 tentaranya, Patih Anekapen berjuang mati-matian
melawan tentara Majapahit yang jumlahnya lebih besar. Semua rombongan, termasuk
Raja dan Puteri Sunda, tewas, kecuali seorang menteri Sunda bernama Pitar. Ia
berhasil meloloskan diri dan pergi ke Majapahit memberitahukan tragedi Bubat.
Hayam Wuruk sangat terpukul jiwanya.
7. Sutasoma
Kitab lainnya, Sutasoma karya Mpu Tantular,
berbahasa Kawi, diperkirakan ditulis pada masa Hayam Wuruk. Dalam kitab ini
dikisahkan bahwa Sang Buddha menitis sebagai Raden Sutasoma putera Prabu
Mahaketu, Raja Hastina. Sutasoma merupakan penganut Mahayana yang saleh. Karena
tak ingin dipaksa kawin, ia kabur dari istana. Dalam pelariannya menuju Gunung
Himalaya, ia berhenti di sebuah candi di dalam hutan dan memutuskan untuk
bertapa. Para pendeta di sekitarnya kemudian mengadu kepada Sutasoma bahwa ada
raja raksasa bernama Purusada yang selalu mengganggu mereka. Namun Sutasoma
menolak untuk membunuh raksasa tersebut.
Selanjutnya Sutasoma melihat seekor
harimau hendak memakan anaknya sendiri. Ia lalu menawarkan diri untuk
menggantikan anak harimau. Alhasil, Sutasoma mati dimakan harimau, namun
kemudian hidup kembali berkat pertolongan Batara Indra. Lalu Sutasoma, menjelma
menjadi Buddha Wairocana. Ketika hendak pulang ke Hastina, ia melihat saudara
sepupunya, Prabu Dasabahu dikejar-kejar pasukan raksasa Purusada. Singkat
cerita, Sutasoma menjadi raja di Hastina.
Sementara itu, Purusada yang
berjanji akan mengirimkan 100 orang raja kepada Batara Kala untuk dimakan,
telah berhasil menawan 99 orang raja. Batara Kala telah berjanji bahwa bila
keinginannya terkabulmaka luka di kaki Purusada akan diobati olehya. Setelah
tawanan berjumlah genap 100 orang, Batara Kala menolaknya karena ia ingin
memakan daging Sutasoma. Sutasoma kemudian menyanggupi permintaan Kala dengan
syarat agar ke-100 tawanan dibebaskan semuanya. Pengorbanannya ini menimbulkan
rasa haru dalam diri Batara Kala dan Purusada. Sejak saat itu, Purusada
bertobat dan berjanji tidak akan menangkap manusia lagi.
Kisah Sutasoma menjelaskan nilai pengorbanan dan belas kasih antarsesama
yang sepatutnya dijalankan oleh seorang Boddhisattva
guna mencapai kesempurnaan sejati yang menjadi ciri ajaran Mahayana.
Oleh karena itu, Mpu Tantular membuat ajaran Siwa dan Buddha menjadi satu
(tunggal), seperti terungkap dalam kalimat: “Hyang Buddha tanpahi Siwa rajadewa…, mangka Jinatwa lawan Siwatatwa
tunggal, bhinneka tunggal ika tanhana dharmma mangrwa,” yang artinya adalah “Hyang Buddha tak
ada bedanya dengan Siwa, raja para dewa…., karena hakikat Jina (Buddha) dan
Siwa adalah satu, berbeda-beda namun satu, tiada kebenaran bermuka dua.”
8. Kesusastraan Melayu Kuno Masa Hindu-Buddha
Selain Jawa, kesusastraan Melayu
bercorak Hindu-Buddha pun berkembang—meski tidak secepat di Jawa. Tema-temanya
pun tak jauh berbeda dengan yang berkembang di Jawa: seputar dunia pewayangan.
Kitab-kitab saduran tersebut di antaranya: Hikayat Seri Rama (saduran dari Ramayana); Hikayat
Pandawa, Hikayat Pandawa Panca Kelima, Hikayat Pandawa Jawa (semuanya
saduran dari epos Mahabharata),
serta Hikayat Sang Boma. Namun,
para ahli masih berselisih paham: apakah kisah-kisah tersebut disadur langsung
dari India atau dari kakawin-kakawin Jawa yang dialhihbahasakan atau
diparafrasakan ke dalam bahasa Melayu?
Selain kisah pewayangan, adapula
kisah-kisah panji Jawa yang dimelayukan, contohnya Hikayat Panji Kuda Semirang, Hikayat Cekel Weneng Pati, Hikayat Misa Gumitar, Carita Wayang Kinudang, Surat
Gambuh, Raden Saputra.
Pengalihbahasaan ini mungkin terjadi ketika ekspedisi Pamalayu yang dilancarkan
Singasari ke daerah Melayu, di mana Singasari sebagai penguasa memberikan
pengaruh budaya terhadap wilayah jajahannya. Adapula sejumlah hikayat yang oleh
Winstedt dan Chmabert-Loir dimasukkan ke dalam periode Hindu, di
antaranya Hikayat Maharaja Puspa
Wiraja, Hikayat Parang Putting, Hikayat Inderaputera, Hikayat Langlang Buana,
Hikayat Marakarma atau Hikayat
Si Miskin, dan Hikayat
Dewa Madu.
PELIT!!!!!!!
BalasHapusboleh ga nih sy copas buat referensi sy.....mas nur awan ?
BalasHapus